GURU, DIGUGU TAPI JANGAN DITIRU
Guru
anu. Anu? Iya anu. Berawal dari hasrat ingin belajar. Hasrat ingin bertutur.
Semangat daging yang bernyawa ini. Entah apa karena banyak realita yang sudah
tidak sesuai yang dituturkan. Guru anu. Ingin menyampaikan teorinya.
Menyampaikan hasil perenungannya. Entah ada referensi atau tidak. Hee... lah
dalah.
Merenung.
Kopi lagi yang menjadi sumbernya. Mungkin karena guru anu adalah orang yang
suka mencari pendapat dari sisi-sisi yang tidak terduga. Sering kali bertentangan.
Untung ada kebiasaan ngopi yang membuat guru anu tidak grusa-grusu saat membuat
gagasan.
Ketika
zaman mahasiswa guru anu memang kenal dekat dengan orang-orang yang tidak
normal. Tidak normal dalam arti positif. Orang-orang yang dikenalnya sungguh beraneka
ragam karakternya. Orang-orang yang dikenal itu pasti diposisikan sebagai guru
oleh guru anu.
Ada
kenalannya yang bicaranya ceplas-ceplos tapi jujur. Enak didengarkan. Tapi
jangan salah. Dia sering bercerita tentang prosesnya saat dulu masih menjadi
mahasiswa. Sederhana. Uang buat apa? Ngeprint buku adalah hobinya. Uang
darimana? Dari orang tuanya lah. Berapapun yang diminta. Tak berat orangtua
memberinya uang jika digunakan untuk departemen urusan belajar.
Guru
anu selalu merenung ketika melihat fenomena-fenomena menarik seperti itu. Dia
pasti pergi ke warung langsung untuk ngopi. Berfikir. Berfikir. Berfikir.
Kenalan yang tadi adalah benar-benar guru. Bagi guru anu berfikir sejenak
terhadap sesuatu lebih penting daripada menulis sesuatu itu menjadi status di
sosial media.
Soal
uang kenalannya tadi minim sekali. Meskipun tidak punya banyak uang. Tapi
prioritasnya adalah belajar. Dia kaya dalam urusan fasilitas belajar. Tapi
sangat sangat sederhana bahkan kurang dalam urusan lainnya.
Pengalaman
lainnya yang pernah diceritakan adalah tentang pengalaman cintanya yang
menyedihkan. Tapi akhirnya happy ending.
Kok tentang cinta? Hubungannya sama pendidikan apa?
Sebentar.
Sebentar. Jangan beranggapan pendidikan, ilmu, pengetahuan, keahlian,
penelitian dan tetek bengek lainnya
itu dapat diraih dari omongan-omongan formal dikelas atau di seminar kayak
gitu-gitu. Jangan salah. Obrolan tidak bermutu kadang memberimu inspirasi untuk
semangat belajar.
Yah.
Paradoks memang. Tapi memang itu yang dirasakan oleh guru anu ketika
mendengarkan obrolan-obrolan semacam itu. Bahkan seringkali guru anu mau
belajar fisika lagi karena perkataan-perkataan terkait cinta tadi. Yah panjang
ceritanya. Poinnya kenalannya tadi bertutur soal cinta.
“Jadi laki-laki tidak usah
bingung soal cinta di tolak, pada saat nanti yang menolak tadi akan menerimamu
jika kamu sudah sukses” kata gurunya guru anu.
Guru
anu. Berfikir sejenak. Apa iya? Iya juga. Ternyata perkataan tersebut merubah
tingkah laku dan pola fikir guru anu. Yang awalnya belajar ya cuma pas mau
ujian saja. Sekarang jadi bertanya-tanya sendiri. Kalau guru anu kayak gitu
terus. Mau jadi apa? Mau jadi orang kalah? Tidak. Tidak. Tidak sudi!
Berfikir
lagi. Guru anu merasa mendapatkan pendidikan yang super exlusive. Ketika dia
malas belajar. Maka ribuan pesaingmu sedang belajar. Gimana jika guru anu tidak
menjadi individu yang berkualitas. Beranikah maju untuk pasangannya?
Cambukan.
Motivasi. Dari obrolan-obrolan yang terkesan tidak akademik. Banyak
petuah-petuah yang disangkalnya. Guru anu memang sedikit sembrono. Salah
satunya adalah guru anu tidak setuju dengan guru yang digugu dan ditiru. Tapi
dia lebih setuju dengan “GURU DIGUGU TAPI JANGAN DITIRU”.
Apa-apaan
ini. Sebentar lah. Maksudnya apa. Guru anu dengan PD nya memberi argumen.
Teringat waktu ngopi. Kantin yang ada didekat tempat favoritnya itu. Argumen
nya agak nyeneh kali ini.
Guru
itu harus digugu atau dipercaya tapi janganlah ditiru. Kenapa? Karena setiap
guru ingin muridnya lebih baik dari dirinya. Bahkan setiap bapak pasti pernah
mengatakan pada anaknya “Nak.. jangan seperti bapak!” (lagunya iksan skuter).
Murid
wajib menghormati guru. Guru orang yang patut dipercaya. Namun harus
dipilih-pilih dulu sikap apa yang harus ditiru dari seorang guru. Jika guru
cara belajar terbaiknya dengan membaca buku, maka jangan mengatakan. “gurumu
itu loo.. suka membaca, ditiru noh”.
Pada
dasarnya adalah setiap manusia memiliki daya kreatifnya. Jika hanya meniru dan
meniru maka kreatif akan hilang. Guru anu makin cakap saja. Healaaah apa iya?
Setiap murid itu berhak menjadi lebih baik dari gurunya. Tapi tidak berhak
merasa lebih baik dari gurunya. Bahkan tidak berhak merasa lebih baik dari
anjing, dari tikus got ataupun dari iblis sekalipun.
Terus
nggak boleh gitu meniru guru? Ya jika menirunya secara radikal ya jangan.
Impresi setiap orang itu berbeda. Lakukan yang menurutmu baik untukmu. Baik
untukmu. Dan baik untukmu.
Guru
anu ini memang ada-ada saja. Apakah guru anu harus digugu? Iya boleh. Apa guru
anu harus ditiru? Nggak perlu. Buwakakaka... berati tulisan yang buaanyak
berparagraf-paragraf itu gak perlu dipraktekan ya?
Guru
anu mungkin bukan guru yang patut ditiru. Tapi jika ingin menirunya harus paham
bener-bener tentang konsekoensi apa yang kira-kira terjadi. Kembali lagi baik
untukmu atau tidak. Itulah pendidikan. Datang dari orang baik. Datang dari
orang aneh. Datang dari kaya. Datang dari orang miskin. Datang dari orang
bodoh. Datang dari semua orang. Tidak melulu datang dari bangku sekolah. Kadang
datang dari hal-hal yang tidak terduga.
Yogyakarta,
9 April 2018
Fahmi
bastian
Komentar
Posting Komentar