KOMUNALISME PENDIDIKAN BANGSA INDONESIA
Manusia-manusia di Indonesia mencari apa-apa yang di inginkannya. Untuk mencapai itu dibuat lah kelompok-kelompok. Ahh.. itu sudah biasa dan memang harus seperti itu.
Namun apa yang terjadi pada bangsa ini. Pendidikan yang digarap menjadi ngalor ngidul. Tujuan pendidikan banyak yang tidak diketahui oleh pencari ilmu. Apa sebenarnya tujuan prmdidikan? Tanya seorang anak.
Kebingungan ini menjadi keresahan bagi orang-orang bijak, tapi menjadi lahan empuk bagi orang yang komunalis. Mereka suka membuat pagar-pagar pemisah. Menolak semua yang dari bukan dari pemimpin yang dipercayainya.
Ternyata bukan hanya orang-orang yang di masa rame-rame nya perselisihan pengikut Hambali dan Syafi'i. Suatu masa dimana Islam waktu itu melemah karena pertikaian antar madzhab. Kini kasus seperti itu malah dibawa ke pendidikan di Indonesia.
Aihh.. makin pusing orang-orang yang punya rasa peduli ke bangsa. Seorang guru besar mengajar ke murid-murid nya untuk hanya mempelajari kitab ini saja. Jangan pelajari kitab itu! Kitab itu salah. Yang benar itu yang ini. Sehingga pengikut hanya manut ke fatwa-fatwa nya dan menutup semua yang bukan fatwanya.
Sedang di belahan bumi Nusantara lainnya malah bilang sebaliknya. Akhirnya terbentuklah madzhab-madzhab keilmuan yang menimbulkan saling menjatuhkan pendapat.
Andai hal ini di bawa ke kursi tinggi itu. Ahh.. tak lain urusan nya menjadi jauh lebih rumit. Kembali ke pendidikan yang sesungguhnya. Kita memusingkan hal-hal yang pernah terjadi di masa perang salib. Yang menyebabkan umat Islam terpecah belah jadi madzhab-madzhab yang saling bertikai. Yang akhirnya mereka mudah dikalahkan. Hmmm.. apakah pendidikan hari ini masih seperti itu? Sesungguhnya tanpa persatuan bangsa ini mudah dikalahkan. Bangsa ini Mudah ditinggalkan.
Jika bangsa ini mampu bersatu membangun sistem pendidikan tanpa harus memecahkan persaudaraan hanya karena perbedaan pendapat. Pastilah mampu bergerak ke pendidikan yang lebih baik dan dapat keluar dari penyakit sindrom keangkuhan intelektual.
Yogyakarta, 16 April 2018
S. Fahmi Bastian
Manusia-manusia di Indonesia mencari apa-apa yang di inginkannya. Untuk mencapai itu dibuat lah kelompok-kelompok. Ahh.. itu sudah biasa dan memang harus seperti itu.
Namun apa yang terjadi pada bangsa ini. Pendidikan yang digarap menjadi ngalor ngidul. Tujuan pendidikan banyak yang tidak diketahui oleh pencari ilmu. Apa sebenarnya tujuan prmdidikan? Tanya seorang anak.
Kebingungan ini menjadi keresahan bagi orang-orang bijak, tapi menjadi lahan empuk bagi orang yang komunalis. Mereka suka membuat pagar-pagar pemisah. Menolak semua yang dari bukan dari pemimpin yang dipercayainya.
Ternyata bukan hanya orang-orang yang di masa rame-rame nya perselisihan pengikut Hambali dan Syafi'i. Suatu masa dimana Islam waktu itu melemah karena pertikaian antar madzhab. Kini kasus seperti itu malah dibawa ke pendidikan di Indonesia.
Aihh.. makin pusing orang-orang yang punya rasa peduli ke bangsa. Seorang guru besar mengajar ke murid-murid nya untuk hanya mempelajari kitab ini saja. Jangan pelajari kitab itu! Kitab itu salah. Yang benar itu yang ini. Sehingga pengikut hanya manut ke fatwa-fatwa nya dan menutup semua yang bukan fatwanya.
Sedang di belahan bumi Nusantara lainnya malah bilang sebaliknya. Akhirnya terbentuklah madzhab-madzhab keilmuan yang menimbulkan saling menjatuhkan pendapat.
Andai hal ini di bawa ke kursi tinggi itu. Ahh.. tak lain urusan nya menjadi jauh lebih rumit. Kembali ke pendidikan yang sesungguhnya. Kita memusingkan hal-hal yang pernah terjadi di masa perang salib. Yang menyebabkan umat Islam terpecah belah jadi madzhab-madzhab yang saling bertikai. Yang akhirnya mereka mudah dikalahkan. Hmmm.. apakah pendidikan hari ini masih seperti itu? Sesungguhnya tanpa persatuan bangsa ini mudah dikalahkan. Bangsa ini Mudah ditinggalkan.
Jika bangsa ini mampu bersatu membangun sistem pendidikan tanpa harus memecahkan persaudaraan hanya karena perbedaan pendapat. Pastilah mampu bergerak ke pendidikan yang lebih baik dan dapat keluar dari penyakit sindrom keangkuhan intelektual.
Yogyakarta, 16 April 2018
S. Fahmi Bastian
Komentar
Posting Komentar